Insight Articles — Aug 24, 2022

Bayar Jasa Screenshot iPhone, Demi Status Sosial?

2 mins read

Share this article

Media sosial lagi ramai karena adanya jasa screenshot atau screen record melalui iPhone yang diminati masyarakat. Pemakai jasa dapat terlihat seakan-akan melakukan posting, berinteraksi, atau chatting di media sosial menggunakan iPhone yang seringkali dianggap sebagai smartphone mewah milik orang kaya. 

 

Orang yang sangat memedulikan status sosial biasanya termotivasi membeli sesuatu bukan hanya karena ingin memiliki barang tersebut, namun juga untuk memperoleh value tidak langsung berupa pandangan positif dari orang lain terhadap diri mereka (Yu & Vul, 2021). Hal ini juga sejalan dengan level keempat Maslow’s Hierarchy of Needs, yakni kebutuhan untuk menerima rasa hormat dan pengakuan dari orang lain untuk meningkatkan self-esteem.
 

Maslow Hierarchy of Needs 

 

Menurut Dr. Kathy Hamilton dari University of Strathclyde, sebagian orang berusaha terlihat kaya karena adanya judgement dari masyarakat terhadap pakaian yang kita gunakan, cara kita berbicara, atau hal lain yang menunjukkan status sosial. Walaupun terdengar irasional untuk menghamburkan uang untuk barang mahal atau branded, bagi sebagian orang hal ini sangat krusial agar tidak dipandang sebelah mata, menghindari bullying, atau melindungi diri dari stigma negatif.

 

Menggunakan jasa screenshot iPhone bisa jadi alternatif untuk tampil ‘berada’ dengan harga terjangkau. Tarif yang ditetapkan untuk jasa ini dimulai dari Rp500 rupiah saja untuk screenshot media sosial seperti Twitter, TikTok, atau Instagram. Ada juga jasa screen record dan custom chat yang dikenakan tarif Rp1.000 - Rp10.000.
 

Padahal dibalik harga yang terjangkau, ada keamanan data pribadi yang dikompromikan. Pasalnya, pengguna jasa perlu memberikan akses login akun sosial media mereka kepada pemberi jasa untuk melakukan screenshot atau memposting konten. Walaupun kebanyakan penyedia jasa menjanjikan keamanan dan kerahasiaan pengguna jasa, tidak ada yang bisa menjamin perkataan penjual.

 

Fenomena ini bisa jadi sebuah refleksi untuk masyarakat terlepas dari status sosialnya. Merujuk ke pendapat researcher Carolynn Look, kita harus berhenti menilai orang lain berdasarkan status sosial dan ekonomi yang standarnya kita buat sendiri. Pasti selalu ada alasan dibalik setiap keputusan finansial seseorang. Di sisi lain, kita harus pelan-pelan menyadari bahwa tidak ada keperluan membuang uang untuk hal-hal yang tidak kita perlukan. Seperti ungkapan “don’t go broke trying to look rich,” rasanya tidak masuk akal bila seseorang mengeluarkan uang hanya untuk terlihat kaya.

 

Bagaimana pendapatmu mengenai fenomena ini?


 

Reference:

 

Share this article