Insight Articles — Nov 15, 2022

Kenapa Kita Sering Nanya "Kapan Nikah"

3 mins read

Share this article

Bukan berita baru kalau bahas orang Indonesia yang terobsesi dengan menyuruh orang lain menikah. Setiap ke kondangan atau acara keluarga, pertanyaan legendaris ini hampir pasti muncul. Seolah-olah kalau kita nggak cepat menikah, orang yang nanya akan kena sial.
 

Rata-rata, orang Indonesia memang menganggap menikah ada batas waktunya. Bahkan, umur 30 tahun ke atas saja dianggap terlalu tua untuk menikah, terutama perempuan. Tapi kenapa sih orang Indonesia merasa penting banget menyuruh orang lain cepat menikah?

 

Beda Generasi, Beda Pandangan Soal Pernikahan

 

Ternyata nikah muda sudah dianggap biasa di Indonesia, jadi kalau ada yang menikah di usia tua akan dianggap aneh. Survei tahun 2020 menunjukkan mayoritas perempuan Indonesia menikah di usia muda, dengan 48,59% perempuan menikah di usia 19-24 tahun, 26,55% menikah di usia 16-18 tahun, dan 8,19% menikah di usia 7-15 tahun[1].
 

Pernikahan di usia muda alasannya beragam. Ada yang dijodohkan oleh orangtuanya, untuk mengurangi beban ekonomi orangtua, dianggap sudah mandiri, dianggap sanggup hidup berkeluarga sendiri, agar cepat punya anak karena menganggap banyak anak banyak rezeki, bahkan dulu banyak yang menikah dini agar sudah menikah sebelum pergi berperang. Dari semua alasan, pernikahan sering dianggap sebagai solusi untuk suatu masalah. Capek kerja? Menikah saja. Orangtua nggak mampu membiayai anak? Dinikahkan saja.

 

Akhirnya, pernikahan dini juga masih ada di generasi-generasi baru. Generasi kita juga didorong untuk menikah cepat karena itulah norma sosial yang biasa untuk orangtua kita. Dulu, hidup cuma ada satu tujuan. Setelah lahir dan sekolah, kalau nggak mencari uang ya menikah, lalu punya anak. Makanya kalau kita sudah sekolah atau kerja, pertanyaannya adalah “kapan nikah?” Setelah menikah, pertanyaannya berubah jadi “kapan punya anak”, “kapan punya anak kedua, ketiga, keempat”, “kapan punya cucu”, dan seterusnya.

 

Tapi, banyak anak muda menolak pernikahan dini. Perempuan yang dulu dianggap harus mengejar “jam biologis”nya karena lebih cepat dewasa dibanding laki-laki pun semakin banyak yang menolak buru-buru menikah karena nggak mau punya anak di usia muda. Karir, pendidikan, ekonomi, hingga pengembangan diri sering dijadikan alasan. Selain itu, sekarang banyak orang lebih paham pernikahan dan membesarkan anak nggak boleh ceroboh atau terburu-buru. Istilahnya, jangan memulai generasi baru sebelum siap karena efeknya seumur hidup.

 

Kini alasan menikah muda bagi banyak orang justru karena FOMO, atau fear of missing out. Banyak anak muda yang merasa tertinggal kalau belum menikah di saat teman-temannya sudah menikah. Seolah pencapaian kita dalam hidup diukur dari perjalanan hidup orang lain. Seringnya, masalah ini menyebabkan stress dan pernikahan yang terburu-buru diadakan. Padahal pernikahan dini yang nggak direncanakan matang-matang dari segi mental dan ekonomi dengan pasangan yang tepat sering berujung ke penyesalan dan pertengkaran yang berujung ke perceraian, lho[2][4]. Menurut Statistik Indonesia, kasus perceraian di Indonesia mencapai 447.743 pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020. Perselisihan antara suami-istri menjadi alasan terbesar dengan jumlah 279.205 kasus[3].
 

Kapan (Harus Berhenti Nyuruh) Nikah?

 

Baik orang yang hobi nyuruh nikah ataupun orang yang merasa harus cepat menikah, lebih baik pikirkan lagi deh. Pernikahan nggak seharusnya dianggap perlombaan. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), usia pernikahan yang ideal adalah usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki[4]. Merangkum banyak survei dan studi berbeda, angka perceraian bisa merosot hingga 50% kalau anak muda menikah di usia 25 tahun ke atas dibanding menikah di usia awal 20-an. Semakin menunda pernikahan selama 1 tahun, persentase resikonya juga semakin turun[5].

 

“Jika menikah muda, rawan sekali emosinya belum stabil. Mudah meledak-ledak, yang akhirnya membuat pertengkaran jauh jadi lebih hebat. Cara mereka menyampaikan keluhan pun bisa berbeda dengan pasangan yang sudah lebih dewasa. Akhirnya, cara penyelesaiannya bisa lebih rumit. Belum lagi jika sudah punya anak. Semua ini perlu kematangan.”

Psikolog Keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi. M. (dilansir dari ruangmom.com)[4]
 

Menurut Anna, pasangan yang merencanakan pernikahan wajib paham hal-hal berikut:[4]

  1. Cara membangun hubungan dan komunikasi suami-istri yang sehat.
  2. Cara mempersiapkan kelahiran dan pengasuhan anak.
  3. Cara mengelola keuangan yang baik.
  4. Peraturan hukum seputar keluarga dan perkawinan.

 

Kesimpulannya, pernikahan bukanlah hal yang bisa dipersiapkan dalam waktu singkat. Sering bertanya “kapan nikah?” bisa menciptakan norma pernikahan yang terburu-buru dan memperbesar resiko perceraian. Jadi putus budaya ini yuk!


 

Reference:

[1]  Katadata 

[2] Okezone

[3] Katadata (2)

[4] Ruang Mom 

[5] Hello Sehat

Share this article