Insight Articles — Sep 23, 2022
3 mins read
Share this article
Dari ngebayangin nge-date sama crush, di-notice idol, sampai ngebayangin menang di argumen yang udah berlalu. Biasanya sih otak mulai aktif bikin fake scenario begini malam-malam pas belum bisa tidur, lagi mandi, atau sikat gigi.
Menurut Psychology Coach Dawn Baxter, halu ngebayangin fake scenario adalah hal wajar. Ngebayangin fake scenario bisa jadi coping mechanism yang bikin kita tenang dan merasa siap menghadapi dunia nyata. Fake scenario juga bisa membantu kita “kabur” sebentar dari dunia nyata. Untuk beberapa orang, fake scenario jadi teknik menyiapkan otak sebelum tidur dan bermimpi. Soalnya, kadang fake scenario bisa sampai kebawa mimpi lho!
Pendapat lain datang dari Caroline Plumer, seorang Therapist. Menurutnya, membayangkan skenario-skenario yang belum terjadi bisa bantu melatih kepercayaan diri saat benar-benar mengalami kejadian tersebut. “Membayangkan fake scenario bisa menjadi cara untuk memproses apa yang telah terjadi pada diri, apa yang mungkin kita inginkan terjadi, atau apa yang kita tidak inginkan terjadi.”
Psikolog Dervla Loughnane juga berpendapat fake scenario bisa membantu kalau kamu merasa sulit untuk mengartikulasikan diri dan perasaan. “Kalau kamu nggak jago dalam komunikasi asertif, kadang melatih percakapan bisa menjadi cara untuk menjadi lebih percaya diri saat menghadapi obrolan yang sulit.”
Tapi hati-hati, menurut Loughnane kebiasaan membuat fake scenario juga bisa membawa pengaruh negatif. Apalagi kalau kita terus menerus membayangkan suatu argumen atau percakapan negatif yang sudah terjadi sampai kurang tidur atau nggak bisa tidur nyenyak.
Gak heran kalau fake scenario bisa mengarah ke pikiran negatif. Hal ini karena menurut Psikolog Dr. Elena Touroni banyak orang kecemasannya meningkat di malam hari. “Di malam hari lebih tenang, yang berarti kita lebih banyak memikirkan diri sendiri. Selain itu pikiran kita cenderung lebih sibuk setelah beraktivitas seharian.”
Mengenai fake scenario, ada pendapat beragam dari orang-orang yang mengobrol dengan kami. Apakah ada yang relate dengan pengalamanmu?
“Bener, biasanya jadi coping mechanism. Setelah ngebayangin kemungkinan terburuk dari suatu hal yang udah terjadi, bisa bikin lebih bersyukur karena kondisi sebenarnya gak seburuk itu.” -C**
“Fake scenario gue biasanya tentang hal yang belum kejadian. Biasanya habis itu kejadian betulan sih hahaha.” -A****
“Pernah. Ngebayangin argumen lama dan cara memenangkannya. Selain itu ngebayangin banyak what if’s untuk ngebandingin berbagai situasi berbeda.” - H****
“Sebelum memulai hal yang baru, biasanya bayangin banyak fake scenario yang mungkin terjadi. Biar lebih siap aja.” -P******
“Kadang kepikiran kayak ‘duh kalo orang ini bilang itu, harus jawab apa ya?’ Jadi lebih untuk prepare aja, walaupun biasanya 90% gak kejadian. Tapi sebelum tidur biasanya berusaha ngalihin ke pikiran yang indah.” -Y****
Seperti kata Kak Y, saat memikirkan fake scenario lebih baik mengalihkan pikiran ke imajinasi yang positif. Daripada mengingat hal negatif, Psikolog Dervla Loughnane juga lebih merekomendasikan journaling atau melatih pernafasan. “Bernafas dengan diafragma bisa membantu mengatasi emosi yang kuat dan mengakses sisi rasional dari otak (prefrontal cortex), yaitu bagian otak yang bisa menemukan solusi dan bernegosiasi dengan efektif.”
Share artikel ini ke kenalanmu yang sering menghalu ya. Semoga bermanfaat!
Reference:
Share this article
Related insight