Insight Articles — Dec 09, 2022

Orang Indonesia Jamnya Jam Karet?

5 mins read

Share this article

Orang Indonesia punya istilah “jam karet” yang berarti konsep waktu di Indonesia super fleksibel. Kalau janjian jam 18.00, orang-orang udah duluan berasumsi acaranya bakal mulai paling cepat jam 18.30. Ujung-ujungnya orang mikir datang jam 18.45 juga gak apa-apa.

 

Kebiasaan kayak gini udah jadi semacam peraturan nggak tertulis. Bahkan kalau datang terlalu cepat atau tepat waktu malah dibecandain “rajin banget dateng jam segini”, seolah norma yang berlaku itu bukan hadir tepat waktu. Orang-orang yang awalnya on time, banyak yang lama-lama jadi malas datang tepat waktu karena sering dibecandain gini atau harus nungguin yang lain.
 

“Bukan gue yang telat, kalian aja yang kecepatan”

Kalimat di atas bisa jadi valid kalau konsep “telat” milikmu dan orang yang kamu temui berbeda. Menurut Edward T. Hall dalam buku “Beyond Culture”, konsep waktu terbagi jadi monokronik dan polikronik[1].

 

Penganut waktu monokronik menganggap waktu itu linear dari masa lalu, sekarang, hingga masa depan. Nggak ada hal yang bisa terjadi bersamaan, sehingga jadwal yang rapi dan tepat waktu sangat penting. Semua hal punya urutan kejadiannya sendiri dan daftar prioritas harus diselesaikan dengan antrian berdasarkan urusan yang datang pertama baru yang belakangan. Karena itu, penganut monokronik percaya produktivitas lebih penting daripada hubungan baik[1][2].

 

Kalau kamu anti merasa gak enakan untuk mendahulukan urusan yang memang sudah duluan ada, kamu adalah penganut paham monokronik. Kamu bakal merasa kesal kalau urutan prioritas yang sudah kamu buat diganggu[1][2].

 

Sementara, penganut waktu polikronik punya kecenderungan lebih tinggi untuk multitasking. Jadwal dan daftar prioritasmu lebih fleksibel dan bisa berubah sewaktu-waktu[1][2].

 

Kamu yang penganut waktu polikronik lebih mudah diminta untuk reschedule suatu acara. Sering, alasan reschedule-nya karena kamu merasa nggak enakan ke orang lain. Soalnya kamu lebih memprioritaskan hubungan kamu dengan orang lain daripada hal-hal yang kamu kerjakan. Kalau kamu lagi bersiap meeting dan Mamamu menyuruh kamu menyuapi adik, kamu punya kecenderungan lebih tinggi untuk nurut Mama dulu atau multitasking keduanya sekaligus[1][2].

 

Beda budaya, beda juga makna “tepat waktu” nya

Menurut Pakar Komunikasi Budaya Deddy Mulyana, masyarakat Indonesia banyak yang menganut konsep waktu polikronik[3]Ini karena, orang Indonesia memiliki jiwa kekeluargaan yang tinggi (high context culture), jadi cenderung mendahulukan membantu orang yang dianggap lebih penting sebelum urusan sendiri[4].
 

Apalagi kalau diminta oleh orang yang posisinya “di atas” kita seperti orangtua atau atasan di tempat kerja. Sementara orang-orang yang di atas kita ini, bakal dimaklumi kalau telat. Waktu yang diluangkan pun jadi lebih fleksibel. Seringnya jam janjian ditentukan berdasarkan waktu luang mereka[4].
 

Kefleksibelan jam karet di Indonesia terlihat banget dari pilihan kata saat membuat janji yang jarang menyebut jam pasti. Perjanjian fleksibel tingkat tinggi ini lah yang kemungkinan jadi asal mula istilah jam karet[4].
 

“Sekitar jam 3.”

“Jam 3-an lah.”

“Kurang lebih jam 3.”

“Ngurusin ini dulu ya.”

“Kira-kira jam 3.”

“Pas sempat ya.”

“Lihat nanti ya.”

 

Kebiasaan ini tentunya bisa merugikan banyak pihak. Orang yang selalu jadi pihak penunggu setia pasti merasa terganggu karena urusan personalnya juga jadi berantakan. Ujung-ujungnya efek domino muncul. Si Penunggu malas kalau harus selalu nungguin dan berniat besok-besok nggak perlu kerajinan. Si Langganan Telat yang tadinya masih buru-buru karena merasa gak enak udah bikin orang lain nunggu pun jadi merasa nggak ada tuntutan sosial untuk datang lebih cepat. Makin lama jam janjiannya makin siang, deh.

 

Budaya yang Sebaiknya Jangan Jadi Budaya

Hati-hati ya, menurut Deddy Mulyana, cara kita menghargai waktu menunjukkan jati diri kita. “Bila kita selalu menepati waktu yang dijanjikan, maka komitmen pada waktu memberikan pesan tentang diri kita. Demikian pula sebaliknya,” jelas Deddy dalam buku pengantar Ilmu Komunikasi[3][5].

 

Sering datang terlambat membuat kesan kamu nggak menghargai orang yang menunggu. Kamu jadi terlihat seperti orang yang meremehkan urusan orang lain.

 

Di lingkungan pekerjaan sudah jelas ini nggak profesional. Memang, sih, kadang waktu tempuh perjalanan sulit diduga. Apalagi di Indonesia sering tiba-tiba ada perbaikan jalan, kemacetan karena lalu lintas kurang tertib, dan cuaca yang gak menentu. Jadinya, di Indonesia waktu tempuh beda dengan jarak tempuh.
 

Kalau sudah begini, mau nggak mau sampaikan perkiraan waktu kehadiran kamu dengan pasti. Tapi, jangan bilangnya udah di jalan ternyata maksudnya baru jalan ke kamar mandi ya!
 

Perubahan memang bisanya dimulai dari diri sendiri sih, jadi ini beberapa tips untuk jadi lebih tepat waktu:[6]

  • Kalau udah janjian, bersiapnya jangan diundur. Utamakan secepatnya hadir. Lebih baik terlalu cepat daripada terlambat.
  • Luangkan waktu untuk hal nggak terduga. Tambah seenggaknya 25% estimasi waktu sebelum jam janjian. Contohnya, kalau butuh 60 menit untuk sampai ke lokasi, berangkat 90 menit sebelum jam janjian.
  • Belajar estimasi waktu dengan lebih baik. Kita harus tau berapa lama yang kita butuhkan untuk melakukan sesuatu, supaya jadwal kita nggak saling bertabrakan.
  • Bersiap dari malam sebelumnya, supaya paginya nggak perlu ribet nentuin baju yang mau dipakai dan sebagainya.
  • Buat daftar prioritas dan ikuti kecuali ada keadaan darurat.

 

Yuk bagikan artikel ini demi Indonesia yang lebih tepat waktu!


 

Reference:

[1] Hall, E. T. (1976). Beyond culture. Anchor.

[2] Indeed

[3] unpad.ac.id

[4] Asia Options 

[5] Mulyana, D. (2000). Ilmu Komunikasi, Pengantar. Bandung: Remaja Rosadakarya.

[6] Lifehack

Share this article